Jangan Mau Jadi Keledai!!

Pergantian rezim hanya akan mengulang kesalahan yang sama, jika sistem demokrasi yang sudah usang tetap berlaku. Sudah siapkah Ummat Islam?

Keledai konon hanya sekali terperosok di lubang yang sama. Namun, manusia justru lebih sering terperosok di lubang yang sama hingga berkali-kali. Hal itu pula yang kerap dialami ummat Islam Indonesia. Meski negeri ini telah berkali-kali gagal meraih sukses gara-gara keliru memilih pemimpin, mereka tak juga sadar bahwa pilihan sistem yang salah telah menjadi pangkal semua kesengsaraan itu.

Sejak menjelang kemerdekaan, para tokoh Islam gigih memperjuangkan berdirinya sebuah negara yang baldatun-thayyibatun wa rabbun ghaffur dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) maupun PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dalam sidang-sidang itu mereka silih berganti melontarkan gagasan tentang keharusan negara yang akan dibentuk memakai aturan Al-Qur’an dan Hadits. Sayang pendapat mereka banyak yang tak terdokumentasi, seperti pidato KH Ahmad Sanoesi dari Sukabumi. Hanya pidato mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Ki Bagoes Hadikoesoemo pada persidangan ke dua, 31 Mei 1945, yang ditemukan catatannya.

Pada bagian akhir petikan pidatonya, Ki Bagus mengatakan, “Oleh karena itu tuan-tuan, saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya pun bangsa Indonesia juga yang asli dan murni belum ada campurannya; dan sebagai seorang Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan Merdeka, maka supaya negara Indonesia merdeka itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, saya mengharapkan akan berdirinya negara Indonesia itu berdasarkan agama Islam.

Sebab, itulah yang sesuai dengan keadaan jiwa rakyat yang terbanyak, sebagaimana yang sudah saya terangkan tadi. Janganlah hendaknya jiwa yang 90 persen dari rakyat itu diabaikan saja tidak dipedulikan. Saya khawatir apabila negara Indonesia tidak berdiri di atas agama Islam, kalau-kalau umat Islam yang terbanyak itu nanti bersifat pasif atau dingin tidak bersemangat: sebagaimana yang dikuwatirkan juga oleh tuan Kiai Sanusi tadi. Tetapi saya mengharapkan jangan sampai kejadian demikian. Tuan-tuan, sudah banyak pembicara yang berkata, bahwa agama Islam itu memang tinggi dan suci.

Sekarang bagaimana kalau orang yang tidak mau diikat oleh agama yang sudah diakui tinggi suci, apakah kiranya akan mau diikat oleh pikiran yang rendah dan tidak suci? Kalau jiwa manusia tidakmau bertunduk kepada agama perintah Allah, apakah kiranya akan suka bertunduk kepada perintah pikiran yang timbul dari hawa nafsu yang buruk? Pikirkan dan camkanlah tuan-tuan.”

Terjadi perdebatan seru dalam sidang BPUPKI akibat perbedaan tajam antara kubu Islam --kubu terbesar dengan 35 orang anggota-- yang menghendaki dasar negara Indonesia berdasarkan Islam, dengan kubu sekuler yang tak menghendaki peran agama (Islam) dalam negara. Golongan Sekuler menginginkan Indonesia berdasar prinsip kebangsaan. Perdebatan tak terselesaikan sampai 1 Juni. Saat itu, Soekarno berpidato selama satu jam yang penuh dengan janji dan rayuan kepada para tokoh BPUPKI dari kubu Islam agar mau berkorban dan berkompromi untuk membangun cita-cita Negara Indonesia yang hendak dicapai bersama. Pidato panjang yang memukau hadiri itu dikemudian hari dikenal dengan judul Lahirnya Pancasila.

Untuk menarik perhatian politisi muslim, Soekarno mencoba merayu mereka: “Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam –maaf beribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna—tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan dan permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.”

Akhirnya para politisi Islam mau berkompromi dengan rumusan UUD yang tidak tegas menyebutkan negara Islam, presiden Islam dan sebagainya. Maka dibentuklah panitia kecil beranggota sembilan orang yang merumuskan pokok pikiran pendirian negara Indonesia. Mereka adalah Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr Ahmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, Prof. Abdul Kahar Muzakir, KH. Wahid Hasyim, Mr. A.A. Maramis, H. Agus Salim, Mr. Mohammad Yamin.

Pada 22 Juni 1945, panitia kecil merumuskan konsensus politik yang mewadahi aspirasi semua golongan. Pengorbanan itu agak terobati dengan adanya rumusan Piagam Jakarta. Bagi kalangan Islam, inti Piagam Jakarta adalah kalimat: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Piagam Jakarta ini seharusnya dibacakan pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Sehari setelah proklamasi kekecewaan merebak. Faksi Islam harus menerima kompromi lagi. Kompromi bermula dari pertemuan beberapa tokoh pada 18 Agustus 1945. KH Wachid Hasjim dari Nahdlatul Ulama, Ki Bagoes Hadikoesoemo dari Muhammadiyah, Mr Kasman Singodimedjo dari Muhammadiyah, Mohammad Hatta dari Sumatera Barat dan Teoekoe Mohammad Hassan dari Aceh, ikut dalam pertemuan itu.

Dalam rapat itu dibicarakan rencana perubahan sila pertama Pancasila dalam Piagam Djakarta, yakni sila Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Semua berawal dari info Hatta dari seorang opsir Jepang. Si Opsir Jepang --yang tak pernah diketahui namanya-- konon mengatakan bahwa golongan Kristen Indonesia Timur tak setuju dengan tujuh kalimat inti Piagam Jakarta. Jika tujuh kalimat itu diterapkan, mereka khawatir terjadi diskriminasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Mereka lebih suka berdiri di luar republik,” katanya.

Padahal sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara mengatakan, “Menurut Deliar Noer, dari keterangan A Kahar Moezakkir, sebenarnya AA Maramis walaupun dari perwakilan Kristen menyetujui 200 % terhadap Preambule atau Piagam Djakarta. Persetujuan ini terjadi karena Ketoehanan tidak dituliskan dengan Jang Maha Esa. Jadi tidak bertentangan dengan keyakinan Trinitas ajaran Kristen. Sedangkan Ketoehanan dengan kewajiban mendjalankan Sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja, diberlakukan untuk umat Islam saja. Tidak untuk seluruh bangsa Indonesia. Artinya umat Kristen dan Katolik tidak terkena Sjariat Islam.”

Awalnya rencana itu ditolak KH Wahid Hasjim maupun Ki Bagoes. Namun dengan berbagai pendekatan kedua tokoh itu mau berkompromi dan bersedia menghilangkan ketujuh kata itu. Hilangnya kalimat itu adalah sebuah pengorbanan tiada taranya dari umat Islam. Banyak pula yang menganggap kesepakatan itu sebagai sebuah kekalahan para tokoh dan ummat Islam yang sangat menyakitkan.

Kini kepemimpinan di negeri ini telah berlalu silih berganti. Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan entah siapa lagi. Semua jatuh bangun gara-gara persoalan yang tak jauh berbeda. Jika pergantian itu hanya sekadar pergantian nama, dan bukan sistem yang dirombak total, niscaya ummat Islam maupun seluruh bangsa Indonesia akan kembali terseok di tengah arus sekulerisme, kapitalisme dan penuhanan benda.

Lalu, haruskah kita lebih rendah derajadnya dari seekor keledai?

0 komentar

Posting Komentar