Yang Berkuasa Sambil Dagang

Negara terbajak oleh korupsi yang mencampuradukkan kepentingan nasional dengan vested interest penguasaha.

Tak lama setelah dilantik jadi Khalifah di Pendopo Bani Saidah, Abu Bakar As Shiddiq tampak memanggul sekarung pakaian ke pasar. Di perjalanan, Abu Ubaidah bin Jarrah memergokinya. 

”Mau ke mana Khalifah?” tanya Abu Ubaidah.
”Ke pasar,” jawab Abu Bakar.
”Untuk apa ke pasar?”
”Aku mau cari nafkah untuk menghidupi anak-istriku.”

Terperanjatlah Abu Ubaidah demi mendengar jawaban Sang Khalifah. Bergegas ia menemui Umar bin Khattab untuk membahas persoalan ini. Beberapa saat kemudian, Abu Ubaidah bersama Umar bin Khattab mencari Abu Bakar di pasar. Benar, di satu lapak, tampak Sang Khalifah sedang menjajakan dagangannya.

Ini tidak bisa dibiarkan. Martabat Khalifah harus dijaga. Selain itu, kehidupannya harus dijamin agar dapat berkonsentrasi menjalankan tugas negara. Dia juga tidak boleh merangkap jadi pengusaha sekaligus penguasa, karena pasti akan menimbulkan konflik kepentingan.

Akhirnya, atas kesepakatan para sahabat besar yang tergabung dalam ahlul halli wal aqdhi, Khalifah Abu Bakar digaji berupa seekor kambing setiap hari dan 300 dinar setiap tahun. Dengan demikian ia tak perlu dan tak boleh lagi berdagang.

Toh, walaupun pemerintahannya sukses, sebelum wafat Khalifah Abu Bakar berwasiat kepada keluarganya agar mengembalikan semua gaji dan fasilitas dari Baitul Maal yang pernah diterimanya. Kebun keluarga dijual untuk menunaikan wasiat itu.

Tragisnya, di Negeri Muslim Terbesar di Dunia, kisah di atas hanya jadi Dongeng 1001 Malam. Yang nyata di Indonesia adalah kisah-kisah penguasaha (penguasa-pengusaha) semacam Nazaruddin.
Bayangkan, seorang saudagar muda bernama Nazaruddin mampu membangun jejaring gurita korupsi lintas-lembaga politik, bisnis, maupun birokrasi pemerintahan, dengan omzet sekitar 7 Trilyun. Itu semua tak mungkin terjadi jika ia murni pengusaha. Jabatan sebagai petinggi parpol penguasa dan anggota Parlemen, meniscayakan semuanya.

Tapi Nazaruddin hanya satu contoh. Banyak lagi penguasa yang duduk di eksekutif, legislatif, maupun yuridis, yang diam-diam maupun terang-terangan masih tetap berdagang. Misalnya, dari 560 nama calon terpilih sebagai anggota DPR periode 2009-2014 yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum pada 24 Mei 2009, banyak diantaranya berlatar pengusaha. Contoh yang cukup fenomenal adalah keluarga pengusaha kontraktor Banten tersohor, mendiang Tubagus Chasan Sochib. Dua putrinya jadi penguasa Banten dan Tangerang Selatan. Beberapa kerabatnya juga masuk DPRD Propinsi Banten. Pendekar Banten ini meloloskan anak dan cucunya ke Senayan dengan kendaraan Golkar.

Tapi, tak hanya Golkar yang begitu. Jumlah pengusaha yang menjadi caleg parpol peraih 10 besar suara terbanyak, melonjak drastis dibanding pada pemilu 2004 (lihat box).

Menurut Direktur Reform Institute, Yudi Latif, setidaknya ada tiga alasan para pengusaha beramai-ramai jadi politisi Senayan. Pertama, selama ini para pengusaha kita dekat dengan para pemimpin politik. Lewat kedekatan itu mereka dijaring menjadi caleg.

Kedua, selama ini antara ekonomi dan politik saling bertaut. Kuat secara politik maka kuat pula secara bisnis. “Ada pengusaha yang masuk ke Senayan untuk memperluas jaringan bisnisnya,” kata Yudi.
Ketiga, politik kita belakangan ini menurutnya cenderung “padat modal.” Situasi ini membuat pemimpin politik cenderung menarik pengusaha ke dalam politik. “Partai lalu memberi tempat bagi pengusaha yang membantu”.

Menurut founding director Global Nexus Institute (GNI), Christianto Wibisono, dampak dwifungsi penguasaha beserta conflict of interest yang bakal menyertainya adalah State captured type of corruption. Negara terbajak atau tersandera oleh korupsi yang mencampuradukkan kepentingan nasional dengan vested interest penguasaha.

Riset yang dilakukan Yoshihara Kunio (1990), Richard Hefner (1998), serta Robison dan Hadiz (2004), menyebutkan bahwa para kapitalis Indonesia adalah pemburu rente dari hasil berselingkuh dengan penguasa. 

Hasilnya, dalam laporan yang dilansir oleh United Press International, 13 Juni lalu, Indonesia juara kedua korupsi se-Asia Pasifik. Sedang secara global tingkat korupsi Indonesia peringkat ke-47.

Indonesia dinilai sebagai negara paling rendah dalam pemberantasan korupsi. Demikian menurut Index of Economic Freedom yang disusun lembaga think-thank Heritage Foundation dan The Wall Street Journal seperti dikutip dari situsnya, 14 Januari 2011. “Menurut kajian kami yang menjadi sumber pokok korupsi politik ada pada politikus, pengusaha, dan birokrat. Mereka menjadi trio macan korupsi,” papar Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, Ade Irawan, dalam diskusi bertajuk ‘Indonesiaku Dibelenggu Koruptor’ di Jakarta Selatan, Sabtu (4/6/2011).

Dalam analisis Forum Umat Islam (FUI), fenomena penguasaha seperti di Indonesia, adalah ciri khas politik demokrasi kapitalisme. ‘’Berbagai penelitian secara empiris dan komparatif menunjukkan bahwa para pengusaha di negara berkembang yang berpolitik adalah kroni kapitalis, bukan wirausaha sejati. Pengusaha ini menikmati rente dari penguasa dengan memberikan imbalan finansial serta dukungan politik,’’ papar Sudadi, pengamat ekonomi FUI dan praktisi bisnis.

Ia mengemukakan penelitian Mushtag Khan (1999) mengenai fenomena penguasaha di India, Pakistan, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan. Misalnya Shin Corporation di Thailand milik Keluarga Thaksin. Thaksin memulai bisnis sebagai mantan perwira polisi yang memasok peralatan komputer dan ATK bagi institusi polisi. Pada awal 1990-an, dia mendapat konsesi cable TV, telekomunikasi (paging, telepon seluler, card-phone), satelit, dan datanet sebesar 1,3 miliar baht. Kedudukan sebagai perdana menteri membuat bisnis Thaksin semakin berkibar.

Di Amerika pun sami mawon. Misalnya, Kevin Phillips menggeledah "Dinasti Bush" di sektor bisnis finansial, perminyakan, dan industri militer. Prescott Bush, kakek Presiden Bush, adalah pengusaha yang menjadi senator dari Connecticut dan teman main golf favorit Presiden Eisenhower. Dari relasi bisnis-politik ini, dinasti Bush berkembang (Phillips, 2004).

Di Korea Selatan, para chaebol membangun perusahaan multinasional mereka dengan sokongan penuh dari rezim yang berkuasa saat itu (Kang, 2002). Mereka menjalin hubungan mesra (cozy relationship) dengan penguasa untuk memperoleh konsesi dan lisensi (Jungsoo Park, 2004). Di Filipina, pengusaha menguasai ranah politik dan bisnis yang dibangun dengan cara yang sama. Istilahnya booty capitalism (Hunchcroft, 1998).

‘’Jadi, selama tidak berganti sistem dan rejim, Indonesia ya akan tetap jadi Negara Gagal, Juara Korupsi, dan menyandang predikat buruk lainnya,’’ simpul Sudadi.

0 komentar

Posting Komentar