Bencana Paradigma Neo-Liberal

Harus ada perubahan paradigma untuk membebaskan Indonesia dari kolonialisme neo-liberal dan korupsi kekayaan negara. 

Perubahan paradigma. Itulah kalimat yang selalu diulang-ulang oleh Managing Director ECONIT Advisory Group, Hendri Saparini, dalam berbagai kesempatan diskusi maupun wawancara tentang buruknya perekonomian Indonesia. Menurut Hendri, paradigma  ekonomi neo-liberal yang tengah dijalankan inilah yang menjadi sumber bencana perekonomian di Indonesia. Jutaan rakyat hidup miskin, jutaan lainnya menganggur, pendidikan makin tak terjangkau, kesehatan mahal, sementara korupsi makin merajalela. Tiap tahunnya, selalu saja Indonesia meraih tropi penghargaan negara terkorup di Asia.

Pemerintah yang semestinya berfungsi sebagai pengatur urusan umat (riayatus syuunil ummah) dan bertanggung jawab layaknya seorang penggembala (mas’ulun an raiyatihi) malah abai. Pemerintah hanya berfungsi sebagai ‘tukang ronda’ (nightwathcer),  yang berperan sebagai penjaga ketertiban hukum dan pelindung hak dan kebebasan warga negara. Negara tidak boleh turut campur dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. “Negara menyerahkan semuanya kepada mekanisme pasar”, kata Hendri.

Karena pemerintah hanya memainkan fungsinya sebatas sebagai regulator dan fasilitator, dan bukan sebagai eksekutor, maka tidaklah mengherankan jika pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan fasilitas umum yang menguasai hajat hidup orang banyak di negeri ini diserahkan kepada swasta dan swasta asing melalui privatisasi. Ibarat hidangan makanan, Indonesia menjadi santapan lezat yang diserbu dari berbagai penjuru oleh swasta dan asing. Anehnya perburuan ini justru ‘difasilitasi’ oleh para wakil rakyat dengan disahkannya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sementara pada saat yang sama, kekayaan negara yang berkumpul di APBN/APBD menjadi ‘bancakan’ para politisi dan penyelenggara negara lainnya dalam aksi korupsi berjamaah. Klop sudah, perpaduan antara akibat penerapan ekonomi neo-liberal dengan sistem politik demokrasi liberal. 

Paradigma Baru

Paradigma neo-liberal yang rusak (fasad) ini harus segara dihentikan. Bila Indonesia ingin menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerto raharjo, lampu merah harus dinyalakan. Setelah itu dibangunlah Indonesia baru, dengan paradigma baru dalam pengelolaan kekayaan negara.

Paradigma baru pengelolaan negara, tentu tidak boleh lagi menengok pada Sosialisme/Komunisme atau bahkan sistem ekonomi kerakyatan, yang selama ini nyaring disuarakan. Paradigma itu haruslah yang lahir dan digali dari sistem yang telah diciptakan oleh Tuhan yang menciptakan manusia dan alam semesta, Allah Swt. Tak ayal lagi, pengelolaan kekayaan berdasarkan sistem ekonomi dan politik ekonomi syariah.

Dasar bagi pengelolaan kekayaan berdasarkan sistem ekonomi syariah adalah adanya konsep pembagian kepemilikan yang unik. Syariah Islam tidak seperti Kapitalisme yang menganggap harta adalah milik manusia, karena manusia yang mengusahakannya dan oleh karenanya, manusia bebas mendapatkan dan bebas pula memanfaatkannya. Paradigma Islam tidak pula seperti Sosialisme yang sama sekali tidak megakui adanya kepemilikan individu. Semua adalah milik negara. Kepada individu diberikan sebatas  yang diperlukan dan dia bekerja sebatas yang dia bisa.

Menurut Taqiyuddin an Nabhani dalam bukunyaNidzamul Iqtishadi fil Islam, konsep kepemilikan menurut syariah dibagi menjadi tiga bagian, kepemilikan individu (milkiyah fardiyah), kepemilikan umum (milkiyah amah), dan kepemilikan negara (milkiyah daulah).

Kepemilikan Individu

Islam mengakui hak individu untuk memiliki harta. Walaupun demikian Islam memberikan batasan tertentu supaya kebebasan itu tidak merugikan kepentingan umum. Islam membatasi kepemilikan tersebut dengan cara perolehan yang halal. Ketika Islam membatasi suatu kepemilikan, Islam tidak membatasinya dengan cara perampasan, melainkan melalui mekanisme tertentu yang telah ditetapkan syariah. Karena Islam telah menganggap bahwa pemilikan dan penguasaan harta benda merupakan bagian dari naluri manusia.

Harta dapat diperoleh melalui bekerja, mencakup upaya menghidupkan tanah mati, mencari bahan tambang, berburu,samsarah,  syirkah mudharabah, musyaqah, bekerja sebagai pegawai(ijarah). Sedangkan harta yang diperoleh tanpa adanya dan upaya bisa berupa hibah, hadiah, wasiat, diyat, mahar, barang temuan.

Sementara itu, Islam melarang perolehan harta melalui cara yang tidak diridhoi Allah seperti judi, riba, pelacuran dan perbuatan maksiyat yang lain. Kegiatan ‘ekonomi’ itu pasti akan menggeret kegiatan ekonomi lain yang sangat merusak. Juga dilarang mendapatkan harta melalui korupsi, mencuri, menipu, karena pasti merugikan orang lain dan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat.

Kepemilikan Umum

Kepemilikan umum adalah izin syara’ kepada masyarakat secara bersama memanfaatkan sesuatu. Harta kepemilikan umum ini terbagi menjadi tiga:

Pertama, segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, yakni segala sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan akan menyebabkan persengketaan taktala ia lenyap. Seperti air, padang rumput (hasil hutan) dan api (listrik dan sumber energi lainnya). Rasulullah Saw bersabda:“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal yakni air, padang gembalaan dan api” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda “Tidak akan pernah dilarang air, padang rumput dan api (untuk dimanfaatkan siapapun)” (HR. Ibnu  Majah).

Kedua, segala sesuatu yang secara alami tidak dapat dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan seperti jalan, sungai, laut, danau, masjid, sekolah negeri, lapangan umum dan fasilitas umum lainnya.

Ketiga, barang tambang yang depositnya tidak terbatas, yakni barang tambang yang jumlahnya sangat banyak. Barang tambang yang cadangannya sangat besar, seperti emas, perak, minyak, nikel, fosfat, tembaga, dan sebagainya tidak boleh dimiliki oleh individu. 

Dasarnya adalah adanya riwayat dari Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abyadh bin Hamal al-Mazini, bahwa Abyadh telah meminta kepada Rasul tambang garam. Lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang sahabat berkata kepada Rasul, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air yang mengalir” Rasul kemudian berkata “Tariklah kembali tambang tersebut darinya”.Rasul bersikap demikian karena sesungguhnya garam adalah barang tambang seperti air mengalir (yang tidak terbatas depositnya).

Harta kepemilikan umum selamanya harus menjadi milik umum. Tidak diperbolehkan diberikan kepada individu apalagi perusahaan swasta/swasta asing. Tidak boleh juga dijadikan sebagai milik negara. Pengelolaan milik umum hanya dilakukan oleh negara untuk seluruh rakyat. Pemerintah harus menjalankan fungsinya sebagai regulator, fasilitator dan eksekutor. Karena itulah tugas dari pemerintah.“Seorang imam (pemimpin) bagaikan penggembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya). (HR. Bukhari).

Kepemilikan Negara

Kepemilikan negara adalah izin syara’ atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada ditangan kepala negara. Misalnya ghanimah, fa’i, khumus, kharaj, jizyah, 1/5 harta rikaz, ushr, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan tanah hak milik negara. Milik negara digunakan untuk berbagai keperluan yang menjadi kewajiban negara seperti gaji pegawai, keperluan jihad, dan lainnya.

Karena syara’ telah memberikan kepada kepala negara kewenangan untuk mengatur urusan kaum muslimin, meraih kemaslahatan mereka, memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, sesuai dengan ijtihadnya dalam meraih kebaikan dan kemaslahatan, maka kepala negara harus mengelola harta milik negara semaksimal mungkin agar pendapatan Baitul Mal bertambah dan dapat dimanfaatkan oleh kaum muslim, sehingga milik negara tidak menjadi sia-sia, hilang manfaatnya dan pendapatannya terputus.

Indonesia Bersyariah

Indonesia baru yang dicita-citakan adalah Indonesia Bersyariah. Indonesia yang dikelola berdasarkan syariat Islam, sistem politik syariah dan sistem ekonomi syariah. Hanya dengan menjadikan Indonesia bersyariah sajalah ‘bancakan’ terhadap kekayaan Indonesia dan korupsi yang merajalela dapat dihentikan. Penjarahan kekayaan alam akan terhenti, jika konsep kepemilikan umum (milkiyah amah)dijalankan. Sebab, negara tidak akan melakukan liberalisasi, privatisasi dan menyerahkan pengelolaan SDA kepada asing.

Sementara, hanya dengan sistem politik Islam, dengan pemilihan kepala negara yang efektif, pengangkatan para gubernur (wali) dan bupati (‘amil) oleh kepala negara sehingga tidak perlu melakukan pemilukada yang berdampak politik biaya tinggi (high cost), korupsi dapat diminimalisir. Pertanyaannya sekarang, sudah maukah umat Islam bersama-sama menyalakan lampu merah atas sistem neo-liberal dan segera menyalakan lampu hijau untuk menjalankan syariah Islam?.

0 komentar

Posting Komentar