
Tentu saja para jamaah, yang tidak pernah mempersoalkan Hadits yang disampaikan khatib itu, merasa rugi apabila ibadah mereka pada bulan Ramadhan tidak akan diterima oleh Allah. Karenanya, Hadits tadi mereka anggap cambukan untuk membayar zakat.
a. Menggalakkan Zakat Fitrah
Sebenarnya, tentang menggalakkan jamaah untuk membayar zakat fitrah adalah sah-sah saja, bahkan hal itu merupakan sesuatu yang baik dan dianjurkan. Yang menjadi masalah adalah menggunakan Hadits yang belum jelas juntrungannya. Sementara itu khatib tadi tidak pernah meralat atau merevisi apa yang pernah ia ucapkan pada khutbah itu. Karenanya, tampaknya kita perlu mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya tentang masalah tersebut di atas.
b. Teks dan Rawi Hadits
Hadits yang disebut-sebut dalam khutbah di atas itu teks lengkapnya adalah sebagai berikut:
“Ibadah Ramadhan itu tergantung antara langit dan bumi, dan tidak akan diangkat kepada Allah kecuali dengan mengeluarkan zakat fitrah.”
Imam al-Suyuti dalam kitabnya al-Jami al-Shaghir menuturkan bahwa Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Syahin dalam kitabnya al-Targhib, dan Imam al-Dhiya, keduanya berasal dari Jabir. Imam al-Suyuti juga mengatakan bahwa Hadits ini dha’if, tanpa menyebutkan alasannya.
Sementara Imam al-Minawi dalam kitabnya Faidh al-Qadir yang merupakan kitab syarah atas kitab al-Jami al-Shaghir menyatakan bahwa seperti dituturkan Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya al-Wahiyat, di dalam sanad Hadits itu terdapat rawi yang bernama Muhammad bin Ubaid al-Bashri, seorang yang tidak dikenal identitasnya. Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya, al-I’lal al-Mutanahiyah fi al-Ahadits al-Wahiyah, menuturkan dua buah Hadits lengkap dengan sanadnya. Hadits pertama adalah berasal dari Jarir seperti tersebut di depan itu, dan Hadits kedua berasal dari anas bin Malik, yang ada sedikit perbedaan redaksi. Ibnu al-Jauzi kemudian berkomentar, dua buah Hadits itu tidak shahih (palsu). Hadits pertama yang bersumber dari Jarir, di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Muhammad bin Ubaid, seorang yang tidak dikenal identitasnya. Sedangkan Hadits kedua yang berasal dari Anas bin Malik, di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama ‘Abd al-Rahman bin Utsman. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, para ulama melemparkan Hadits ‘Abd al-Rahman bin Utsman. Dan menurut Imam Ibnu Hibban, ‘Abd al-Rahman bin Utsman tidak boleh dijadikan hujjah (pegangan).
Dalam kitab Lisan al-Mizan karya Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, sebagaimana dikutip oleh Syeikh Muhammad Nashir al-Din al-Albani dalam kitabnya Silsilah al-Hadits al-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, Ibnu al-Jauzi mengatakan lebih lanjut bahwa Hadits itu tidak memiliki mutabi, yaitu Hadits yang sama dengan sanad yang lain. Pernyataan Ibnu al-Jauzi ini dikukuhkan oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Tetapi seperti baru kita ketahui, dalam kitabnya al-‘Ilal al-Mutanahiyah fi al-ahadits al-Wahiyah, Ibnu al-Jauzi menyebutkan dua riwayat untuk Hadits tersebut, dan dua riwayat itu sama-sama tidak shahih (palsu). Maka boleh jadi, kitab al-Wahiyah itu bukan kitab al-‘Ilal al-Mutanahiyah fi al-Ahadits al-Wahiyah. Wallahu’alam.
c. Keliru Menukil
Ada suatu hal yang menarik untuk diteliti, yaitu keterangan Imam al-Mundziri (w.656 H) dalam kitabnya al-Targhib wa al-Tarhib min al-Hadits al-Syarif. Beliau menuturkan bahwa Hadits ini diriwayatkan dari Jarir oleh Imam Ibnu syahin (w.385 H) dalam kitabnya Fadha’il Al Qur’an, dan Imam Ibnu Syahin mengatakan bahwa Hadits ini gharib, sementara sanadnya bagus.
Keterangan Imam al-Mundziri ini telah membuat penasaran Syeikh al-Albani sehingga beliau berupaya untuk melacak Hadits itu dalam kitab Fadhail al-Qur’an tadi. Di perpustakaan al-Dhahiriyah Damaskus, beliau mencari kitab Ibnu Syahin itu dan menemukannya masih dalam bentuk manuskrip. Memang, kitab Fadha’il al-Qur’an ini sampai tahun 2003, tampaknya belum dicetak, tetapi masih berbentuk tulisan tangan alias manuskrip.
Apa hasil pelacakan itu? Ternyata Syeikh al-Albani tidak menemukan Hadits itu dalam kitab Fadha’il al-Qur’an. Bahkan Imam Ibnu Syahin dalam kitabnya itu tidak memberikan komentar apapun untuk setiap Hadits yang ditulisnya, baik tentang keshahihan Hadits maupun kedha’ifannya. Syeikh al-Albani akhirnya berkesimpulan bahwa Hadits itu boleh jadi ditulis oleh Imam Ibnu Syahin dalam kitabnya yang lain, bukan dalam kitab Fadha’il al-Qur’an.
Ini apa artinya? Artinya ialah bahwa Imam al-Mundziri boleh jadi keliru dalam menukil dari Imam Ibnu Syahin. Dan tampaknya bukan hanya al-Mundziri saja yang keliru dalam menukil Hadits itu. Ahmad bin Isa al-Maqdisi dalam kitabnya Fadha’il al-Jarir juga melakukan hal serupa.
Masih menurut Syeikh al-Albani, sekiranya apa yang disebutkan Imam Ibnu Syahin itu shahih, yaitu bahwa Hadits tersebut sanadnya bagus, maka hal itu menunjukkan bahwa Imam Ibnu Syahin tasahul (mempermudah) dalam menilai Hadits itu. Bagaimana mungkin sanad itu bagus, demikian Syeikh al-Albani, padahal rawinya tidak dikenal identitasnya dan Hadits itu tidak diriwayatkan kecuali oleh Muhammad bin Ubaid al-Bashri tadi, seperti dituturkan oleh Ibnu al-Jauzi dan didukung oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu ‘Asakir, dan di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama ‘Abd al-Rahman bin Utsman bin ‘Umar. Syeikh al-Albani tampaknya telah berusaha untuk mengetahui identitas rawi ini, namun beliau tidak menemukannya. Kami sendiri juga ikut mencoba membuka kitab-kitab biografi para rawi, namun sayang nama ‘Abd al-Rahman bin Utsman bin ‘Umar tidak kami temukan.
Kesimpulannya, sanad Hadits tadi tidak dapat dinilai karena ada rawi yang majhul (tidak diketahui) tadi.
d. Tanda-tanda Palsu
Untuk mendeteksi kepalsuan Hadits, kita dapat melakukannya lewat sanad Hadits, dan dapat pula melalui matan Hadits. Dalam disiplin ilmu Hadits, terdapat kaidah bahwa apabila sebuah Hadits substansinya bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam, maka Hadits tersebut adalah palsu.
Selanjutnya, apakah substansi Hadits itu bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam? Syeikh al-Albani yang tadi itu menjawab pertanyaan ini. Kata beliau,”Sekiranya Hadits ini shahih, hal itu berarti ibadah puasa Ramadhan itu tidak akan diterima oleh Allah sampai yang bersangkutan mengeluarkan zakat fitrah. Dan saya tidak mengetahui apakah ada seorang ulama yang berpendapat seperti itu.”
Secara umum, ajaran Islam tidak pernah menetapkan bahwa ibadah puasa itu berkaitan dengan zakat fitrah, kecuali hanya dalam hal waktu pengeluaran zakat fitrah itu saja. Puasa dan zakat fitrah tidak memiliki hubungan syarat-masyrut seperti halnya bersuci dengan shalat. Puasa seseorang apabila telah memenuhi syarat-syaratnya, maka akan diterima oleh Allah. Dan zakat fitrah bukanlah salah satu syarat diterimanya ibadah puasa.
Karenanya, dari segi ini, jelaslah sudah bahwa Hadits di atas itu bertentangan dengan ajaran Islam secara umum. Dan pada gilirannya hal itu sudah dapat dijadikan alasan bahwa Hadits itu palsu. Apalagi ditambah bahwa sanad Hadits itu tidak jelas juntrungannya. Wallahu’alam.
Sumber: Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan, karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, Penerbit: Pustaka Firdaus, hal. 44-48.
0 komentar
Posting Komentar