Liberalisme semakin deras terutama berupaya mencengkramkan kuku kekuasaannya di wilayah yang mayoritas muslim, hal ini disamping terkait dengan masalah politik juga sangat kentara terkait dengan kepentingan ekonomi yang sebagian besar Negara-negara mayoritas muslim kaya akan sumber daya alam, sebut saja misalnya Afghanistan, Iraq, Iran, Kuwait, Arab Saudi dan beberapa Negara Middle East yang kaya akan minyak, termasuk adalah Indonesia sebagai Negara di kawasan Asia Tenggara, satu-satunya Negara yang kaya sumber daya alam dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia. Yang kini eksploitasi kekayaan Indonesia sedang gencar-gencarnya digugat, seperti Freeport di Irian Jaya, Newmont di Sulut dan NTB, Exxonmobil di Cepu, dll.
Cengkeraman Liberalisme di Indonesia tak lepas dari upaya strategis di bidang pendidikan, yaitu bea siswa, penelitian dan pendanaan lembaga-lembaga sosial, budaya dan politik, dimana derasnya Liberalisme seiring dengan derasnya dollar yang masuk ke Indonesia melalui para donor luar negeri dan lembaga keuangan internasional. Imbasnya dengan strategi global ini, adalah sangat mempengaruhi pola kebijakan pemerintahan di segala aspek, yang paling kasat mata adalah bagaimana tidak berdayanya pemerintahan Indonesia dalam menghadapi IMF. Termasuk bantuan dari lembaga donor non profitable seperti Ford Foundation dan Asia Foundation kepada LSM-LSM yang ada di Indonesia. Jelas bahwa bantuan yang mereka berikan bukan shodaqoh atau infaq lillahi’ala artinya bantuan yang mereka berikan tidak gratis, tetapi bantuan itu bersyarat yaitu equivalent dengan visi dan misi sang pemberi bantuan (donor), hal yang sangat biasa saja.
Dalam konteks keberagamaan, secara geneologis, masuknya Liberalisme Islam ke Indonesia, disinyalir berasal dari para “mahasiswa” Indonesia yang belajar ke Barat dan pengaruh dari kaum orientalist. Gerakan Liberalisme menjadi mainstream terutama pada sekitar tahun 70-an, yang digagas oleh mendiang Nurcholis Madjid dan Ahmad Wahib.
Dengan power of finance ini gerakan Liberalisme di Indonesia semakin radikal dan ekstrem, bahkan orasi-orasi dan acting mereka sudah mencerabut jati diri budaya bangsa dengan senjata ampuh mereka yaitu Demokratisasi dan HAM. Dan sudah masuk pada seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya bahkan Liberalisme masuk pada wilayah agama. Sehingga semua elemen bangsa yang mencintai bangsa ini dibuat tidak berdaya dengan Isu Demokrasi dan HAM. Sebut saja misalnya, TNI dan Kepolisian dibuat mandul dan tidak berdaya dalam membangun dan mempertahankan karakter nasionalismenya dalam mempertahankan NKRI karena selalu dibenturkan dengan isu demokrasi dan HAM, belumlah usai kasus Timtim, kini TNI dan Kepolisian dihadapkan pada masalah Papua, dan ironisnya selalu dalam posisi tersudut, sehingga secara langsung sangat mempengaruhi kekuatan pertahanan dan keamanan nasional. Kemudian para pejuang moral bangsa, yang menginginkan generasi Indonesia di masa datang lebih bermartabat, selamat dari budaya porno sehingga tidak menjadi generasi porno dalam kerangka character building sebagai bangsa harus berhadapan dengan sekelompok orang yang selalu berdalih tentang kebebasan berekspresi dan Hak asasi.
Dari sini tidak disadari oleh masyarakat Indonesia bahwa ternyata Liberalisme dengan secara radikal dan ekstrim telah mencerabut rasa nasionalisme dalam berbangsa dan bernegara. Ciri bagi kaum pejuang Liberalisme adalah selalu mengkaitkan dan membenturkan setiap lawannya dengan isu Demokratisasi dan HAM. Memainkan isu Demokratisasi dan HAM menjadi sangat efektif karena isu ini telah disetting menjadi isu global atau perang gaya baru ala barat dalam memberangus lawan-lawannya seperti gerakan Islam, Komunisme dan peradaban Sino-japan. Sebut saja misalnya Indonesia yang merupakan Negara berpenduduk muslim terbesar disebut-sebut sebagai salah satu Negara yang paling buruk dalam masalah HAM dan bahkan dinilai sebagai sarang teroris, dan mengidentikan Islam dengan teroris.
Namun ironisnya pelanggaran-pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh negara-negara pengusung Liberalisme, nyaris tanpa kritik dan tak ada satupun lembaga kemanusiaan dan LSM atau NGO yang berkomentar pedas, sebut saja pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh AS, Inggris, Australia dan koalisinya pada Afghanistan dan Iraq kemudian Genocide yang dilakukan oleh Israel terhadap penduduk Palestina. Lebih ironis lagi adalah penolakan AS dan beberapa Negara Barat terhadap hasil Pemilu yang demokratis di Palestina yang memenangkan Hamas ataupun Pemilu di Al Jazair yang dimenangkan oleh FIS, quo vadis demokrasi?
Sedangkan hal-hal yang terkait dengan isu nasional di Indonesia, jika peristiwa-peristiwa itu terkait dengan kepentingan Barat khususnya AS, kelompok Liberalisme di Indonesia ini cenderung bungkam, nyaris tak terdengar, sebut saja misalnya kasus Buyat dan NTB dengan Newmontnya, Kasus Abepura dengan Freeportnya, kasus Cepu dengan Exxonmobilnya, dll. Para tokohnya bungkam dan komentaranyapun sangat abu-abu, walaupun fakta ketidakadilan dan kerusakan lingkungan sudah sangat nampak.
Dari sisi ini begitu kentara karakter gerakan kaum Liberalisme ini yang selalu bersikap standar ganda dalam mensikapi masalah isu Demokrasi dan HAM, mirip seperti yang dilakukan oleh induk semangnya. Inilah memang geneologis Liberalisme di Indonesia tak bisa dilepaskan dari induk semangnya.
0 komentar
Posting Komentar